Ringkasan
Singkat Tentang Vieled Fantasies: Cultural
and Sexual Difference in The Discourse of Orientalism
Kajian orientalisme
yang dilakukan oleh Edward Said mendapatkan banyak tanggapan dari berbagai
pihak termasuk kritik yang dikemukakan oleh Meyda Yegenoglu. Ilmuwan Turki ini mempertanyakan
konsep budaya dan perbedaan seks yang tidak dijelaskan dalam kajian
orientalisme Said. Padahal menurut Yegenoglu, kedua konsep tersebut sangat
penting untuk dibicarakan dalam kajian orientalisme terutama kaitannya dengan
representasi perempuan timur oleh para kolonial. Sebagai tambahan juga,
orientalisme disini perlu dipahami sebagai cara pandang masyarakat Eropa dalam memahami
masyarakat Timur yang dalam kajiannya berisikan analisis tentang dunia Barat
yang melahirkan pengetahuan dan memelihara fantasinya terhadap dunia Timur.
Dalam pandangan
Yegenoglu, salah satu contoh tentang representasi gambaran perempuan timur oleh
dunia barat adalah gambaran yang dilakukan oleh para penjajah Perancis terhadap
kaum perempuan bercadar Aljazair. Bagi para penjajah, pakaian yang dikenakan
oleh kaum perempuan ini adalah pakaian aneh yang tidak biasa mereka lihat di
negaranya. Oleh karena itu, mereka menciptakan pandangan mereka sendiri
terhadap perempuan-perempuan bercadar yang tidak hanya sebagai orang yang feminim,
eksotis, misterius namun juga sebagai orang yang bersembunyi, bertopeng, dan
penuh dengan tipu muslihat.
Gambaran-gambaran
yang diberikan oleh kaum penjajah sebagai kelompok dominan ini menjadi doktrin
yang diterima mentah-mentah oleh kebanyakan orang. Padahal pandangan buruk itu
tidak lain disebabkan adanya rasa frustasi yang diderita oleh para penjajah Perancis
karena terhalang untuk mengontrol perempuan secara visual. Sedangkan di satu
sisi para perempuan tersebut dapat melihat para penjajah Perancis ini karena mereka
membiarkan mata mereka terbuka. Potret penggambaran ini sebenarnya juga
memiliki nuansa politis. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kolonialisme
dimana salah satu cara untuk menguasai suatu wilayah adalah dengan menguasai
para perempuannya. Namun ketika para penjajah Perancis tidak mampu menguasai para
perempuan terutama terhadap kontrol visual, maka cara lain yang bisa dilakukan
adalah dengan menciptakan gambaran dan fantasi yang merendahkan perempuan
bercadar Aljazair sebagai orang yang dijajah.
Fantasi-fantasi
yang diberikan untuk perempuan ini juga sangat kejam. Dengan stigma sebagai
manusia bertopeng yang penuh muslihat, maka dalam panggung-panggung drama
ataupun film-film, para kolonial menayangkan perempuan bercadar sebagai objek
yang hina, diperkosa, dipaksa untuk melepaskan cadarnya, dan juga diperlakukan
sebagai makhluk asing yang harus dinormalisasikan atau diarahkan ke jalan yang “lurus”. Stigma ini pada akhirnya sering menjadi gambaran yang ditujukan kepada perempuan oriental atau perempuan timur pada umumnya.
Selain itu, Yegenoglu juga menekankan
pandangannya tentang perempuan Aljazair yang telah menjadi other dilingkungannya dan lebih menjadi other dengan apa yang dilakukan oleh para koloni penjajah. Menurut Yegenoglu,
aturan-aturan terhadap cara berpakaian perempuan dilingkungannya telah
menjadikan mereka sebagai other. Namun
ketika para perempuan itu mendapatkan stigma atas pakaian yang dikenakannya,
seperti mana yang baik dan mana yang buruk, maka hal itu telah lebih jauh lagi membuat
perempuan menjadi other.
Hal ini juga
menjadi perbedaan antara Yegenoglu dan Said. Yegenoglu memiliki gambaran yang
berseberangan dengan Said mengenai representasi dari seorang perempuan terhadap
perempuan lainnya. Jika Said menjelaskan bahwa memakai cadar adalah
representasi dari perempuan, maka Yegenoglu menolak pernyataan itu. Menurutnya kita
harus memahami antara budaya dan seks. Dalam hal ini berarti, perempuan
bercadar adalah representasi dari dirinya sendiri atau budayanya, bukan
representasi terhadap kaum perempuan pada umumnya.
Referensi:
Meyda, Yegenoglu.
1998. Colonial Fantasies: Toward a
Feminist reading of Orientalism. Cambridge University Press. United
Kingdom.